Sesulit apa pun situasinya, kita bisa belajar dari seorang tukang kayu.

Coba perhatikan tanaman di bawah ini.

Biar lebih jelas, kita zoom sedikit.

Jangan salah, itu bukan tanaman mati atau semak-semak yang habis terbakar. Memang begitu aslinya, dan itu hidup.
Namanya, kalau dibaca, bisa bikin konslet di bagian kornea: Myrothamnus flabellifolius.
Makanya biar lebih mudah, orang-orang nyebutnya “tanaman kebangkitan” alias resurrection bush.
Dulu, para botanis yang menemukan semak-semak ini di abad ke-19 juga nyangkain itu tanaman mati.
Tapi, setiap pagi, ketika dibasahi embun, belukar itu mendadak ganti skin. Begitu juga di musim hujan.
Kayak begini penampakannya. Seger banget-banget, hijau, gemah ripah.

Rasa-rasanya ndak ada tanaman setangguh Myrothamnus yang bisa tumbuh di daerah gersang dan sangat kering di Afrika bagian selatan.

Sesulit apa pun situasinya, dia selalu mampu bangkit kembali.
Ada sebuah tempat yang hampir tak bernama di Denmark hingga awal-awal 1900-an.
Semua orang bebas menyebutnya apa kala itu. Ndak ada yang peduli.
Letaknya di wilayah Jutland, bagian barat Denmark, atau hampir 300 kilometer dari Kopenhagen.
Hanya terdapat sedikit rumah, beberapa pertanian, dan bengkel-bengkel kayu sederhana.
Ole Kirk Kristiansen tinggal di sana, bersama istri dan anak-anaknya.

Dia mahir membuat perabot rumah tangga dari bahan kayu. Kursi, papan setrika, lemari, atau daun pintu.
Berkat ketekunannya, Ole Kirk bisa membeli sebuah workshop dan sekaligus membuka toko furnitur.
Suatu hari di tahun 1924, dua anak laki-lakinya yang sedang bermain serutan kayu, secara tidak sengaja membakar seisi bengkel dan rumah mereka.

Semua ludes, kecuali keterampilan dan jaringan Ole sebagai tukang kayu.
Dia membangun kembali semuanya dari nol. Bahkan membuat rumah yang lebih besar dengan banyak kamar.
Mereka tinggal di satu kamar utama, sedangkan kamar-kamar lainnya disewakan.
Musibah lain menyusul di tahun yang sama, sang istri meninggal dunia setelah melahirkan anak keempat.
Ole kini harus membesarkan anak-anaknya seorang diri.
Meski tak mudah, situasinya perlahan-lahan membaik. Lima tahun berselang, usahanya sudah begitu berkembang hingga mampu mempekerjakan beberapa karyawan.
Saat itulah, terjadi kejatuhan bursa saham Wall Street di Amerika yang memicu krisis: Depresi Besar 1929.
Ribuan bank bangkrut, perusahaan tutup, dan jutaan pekerja menganggur. Dampaknya juga dirasakan di Denmark.
Orang-orang dipaksa berhemat. Uang dibelanjakan hanya untuk keperluan makan dan minum.
Tak ada lagi yang memesan perabotan kayu dari Ole Kirk.
Waktu terus berjalan. Ole benar-benar sudah berhenti membuat furnitur meskipun, tentu saja, dia tetaplah seorang tukang kayu.
Pada 1932, Ole mulai membuat mainan dari kayu. Dia percaya, anak-anak tetap perlu mainan, bahkan di tengah krisis ekonomi.
Ole memahat mainan sederhana. Bebek kecil dengan roda, kereta api mini, yo-yo, dan berbagai mainan lainnya.
Awalnya, mainan kayu buatan Ole hanya dijual di desa-desa sekitar. Tapi, lambat laun, reputasinya menyebar.
Toko-toko mainan di Kopenhagen mulai memesan produk dari bengkel kecil milik Ole.
Tahun 1934 menjadi turning point penting. Ole memutuskan memberi nama resmi untuk perusahaan mainannya.
Dia mengombinasikan dua kata Denmark: leg (bermain) dan godt (baik), menjadi: LEGO.
Dari tempat sepi yang hampir tidak punya nama itulah Ole Kirk Kristiansen membangun pabrik mainannya.
Tempat itu: Billund.
Kalaupun nama itu saya bold, italic, underline, belum cukup mampu menyaingi nama LEGO di ingatan semua orang.
Bagi Ole sendiri, nama LEGO punya makna filosofis. Dia ingin karyanya bisa bikin anak-anak “bermain dengan baik”, bukan cuma buat bersenang-senang tapi juga belajar, berkreasi, dan mengembangkan imajinasi.
Ole sangat serius dengan itu.
Pada tahun 1942, ketika Perang Dunia II sedang berkecamuk, bencana lain datang.
Di suatu malam, api lagi-lagi melalap bengkel dan pabrik LEGO. Kali ini lebih parah dari kebakaran pertama di tahun 1924.
Hampir semua mesin, peralatan, stok mainan, juga pola-pola desain yang sudah dikembangkan bertahun-tahun, lenyap dalam sekejap.
“Vi bygger op igen,” kata Ole kepada putranya, Godtfred yang kala itu sudah berusia 22 tahun. “Kita bangun lagi.”
Belum berhenti, lepas perang dan kebakaran, kayu menjadi semakin sulit didapat dan mahal. Mau-tak mau, Ole harus mencari alternatif lain.
Tahun 1947, dia membeli mesin cetak plastik pertama di Denmark. Di masa itu, keputusan Ole dianggap aneh. Banyak yang skeptis.
Plastik masih dianggap bahan murahan, tidak prestisius seperti kayu.
Tapi, Ole punya mata yang mampu memandang lebih jauh. Plastik bisa dibentuk dengan presisi tinggi, tahan lama, dan bisa diproduksi massal dengan biaya lebih efisien.
Tahun 1949, LEGO mengeluarkan produk plastik pertamanya: Automatic Binding Bricks. Balok-balok plastik yang bisa disusun dan dibongkar ulang.
Ini adalah cikal bakal dari LEGO brick yang kita kenal sekarang.

Ole Kirk Kristiansen wafat pada 11 Maret 1958 di usia 66 tahun, hanya beberapa minggu setelah putranya, Godtfred Kirk Christiansen, mendaftarkan patent LEGO brick system (sistem kunci klik antar ‘batu bata’ plastik LEGO).
Ole tidak sempat menyaksikan sendiri, dari tempat yang dulu sepi bernama Billund, LEGO akan berkembang ke seluruh dunia.
Jadi kolumnis di Kitalah.com!
Tulis apa saja, gaya bebas sesukamu. Cerita-cerita keseharian, pemikiran, atau perasaanmu. Baca ketentuannya di sini.



Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
1 Komentar
-
Benny Fx
Cara kirim artikel?